Sabtu, 27 Oktober 2012

Sejarah Idul Adha

SEJARAH IDUL ADHA

23 Oktober 2012
Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.
“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.
Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma’il, artinya “Allah telah mendengar”. Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: “Allah mendengar doaku”.
Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”
Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).
Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.
Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.
Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.
Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.
“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.
“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.
Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.
“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.
“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.
“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.
“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.
“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.
Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”
“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.
“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.
Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.
Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.
Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”
“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma’il.
Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”
Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.
Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)
Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).
Sumber: Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta

Selasa, 23 Oktober 2012

Kemuliaan dan Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah


Bulan Dzulhijjah sedang kita jalani, Pada sepuluh hari pertamanya terdapat banyak kemuliaan dan keutamaan. Hari-hari tersebut disediakan oleh Allah sebagai musim ketaatan dan kesempatan beramal shalih yang bersifat tahunan. Maka hendaknya seorang muslim memperhatikan keberadaannya, memanfaatkannya dengan melaksanakan berbagai ibadah yang disyariatkan, menjaga perkataan dan amal yang shalih agar mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan membantunya dalam menghadapi kehidupan ini dengan jiwa yang tenang dan semangat yang berkobar.
10 hari pertama dari bulan Dzul Hijjah merupakan hari-hari yang sangat mulia dan penuh barakah. Bukti kemuliaan ini, Allah Ta’ala bersumpah dengannya dalam Al-Qur’an al-Karim.
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Imam al-Thabari dalam menafsirkan “Wa layaalin ‘asr” (Dan malam yang sepuluh), “Dia adalah malam-malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan hujjah dari ahli ta’wil (ahli tafsir).” (Jaami’ al Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: 7/514)
Penafsiran ini dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, “Dan malam-malam yang sepuluh, maksudnya: Sepuluh Dzulhijjah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan lebih dari satu ulama salaf dan khalaf.” (Ibnu Katsir: 4/535)
Kemuliaan sepuluh hari ini juga disebutkan dalam Surat Al-Hajj dengan perintah agar memperbanyak menyebut nama Allah pada hari-hari tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menukil riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma,  “al-Ayyam al-Ma’lumat (hari-hari yang ditentukan) adalah hari-hari yang sepuluh.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/239)
Maka dapat disimpulkan bahwa keutamaan dan kemuliaan hari-hari yang sepuluh dari Dzulhijjah telah datang secara jelas dalam Al-Qur’an al-Karim yang dinamakan denganAyyam Ma’lumat karena keutamaannya dan kedudukannya yang mulia.
Sedangan dari hadits, terdapat keterangan yang menunjukkan keutamaan dan kemuliaan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah ini, di antaranya sabda Nabishallallaahu 'alaihi wasallam:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
"Tidak ada satu amal shaleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud dan  Ibnu Majah).
Karenanya dianjurkan atas orang Islam pada hari-hari tersebut untuk bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, di antaranya shalat, membaca Al-Qur’an, dzikrullah, memperbanyak doa, membantu orang-orang yang kesusahan, menyantuni orang miskin, memperbaharui janji kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Masih ada satu amalan lagi yang utama pada hari-hari tersebut, yaitu berpuasa sunnah di dalamnya.
Terdapat dalam Sunan Abu dawud dan lainnya, dari sebagian istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ
“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada tangga 9 Dzulhijjah.” (HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid –Salah seorang ulama besar Saudi Arabia- berkata, “Di antara musim ketaatan yang agung adalah sepuluh hari perama dari bulan Dzulhijjah, yang telah Allah muliakan atas hari-hari lainnya selama setahun. Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
"Tidak ada satu amal shaleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud dan  Ibnu Majah).
Hadits ini dan hadits-hadit lainnya menunjukkan bahwa sepuluh hari ini lebih utama dari seluruh hari dalam setahun tanpa ada pengecualian darinya, sehingga sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan. Syaikh Munajjid menambahkan, urgensi sepuluh hari pertama ini diperkuat dengan beberapa bukti di bawah ini:
1. Allah Ta’ala telah bersumpah dengannya. Dan bersumpahnya Allah dengan sesuatu menjadi dalil urgensinya dan besarnya manfaat. Allah Ta’ala berfirman,
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Ibnu Abbas, Ibnu al-Zubair, Mujahid, dan beberapa ulama salaf dan khalaf berkata: Bahwasanya dia itu adalah sepuluh hari pertama Dzil Hijjah.
Ibnu Katsir membenarkan pendapat ini (Tafsir Ibni Katsir: 8/413)
2. Sesungguhnya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallampernah bersaksi bahwa hari-hari tersebut adalah seutama-utamanya hari-hari dunia sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits shahih.
3. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallammenganjurkan untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Sesungguhnya kemuliaan masa diperoleh oleh setiap penduduk negeri, sementara keutamaan tempat hanya dimiliki oleh jama’ah haji di Baitul Haram.
4. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam juga memerintahkan untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan takbir pada sepuluh hari tersebut. Dari Ibnu Umarradhiyallaahu 'anhuma, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallambersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah), karenanya perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya.” (HR. Ahmad 7/224, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan isnadnya).
5. Di dalamnya terdapat hari Arafah. Hari 'Aradah adalah hari yang disaksikan yang di dalamnya Allah menyempurnakan ajaran dien-Nya sementara puasanya akan menghapuskan dosa-dosa selama dua tahun. 

6. Di dalamnya terdapat ibadah udhiyah (berkurban) dan haji.
Dalam sepuluh hari ini juga terdapat yaum nahar (hari penyembelihan) yang secara umum menjadi hari teragung dalam setahun. Hari tersebut adalah haji besar yang berkumpul berbagai ketaatan dan amal ibadah padanya yang tidak terkumpul pada hari-hari selainnya.
Sesungguhnya siapa yang mendapatkan sepuluh hari bulan Dzulhijjah merupakan bagian dari nikmat Allah yang besar atas hamba. Hanya orang-orang shalih yang bersegera kepada kebaikan lah yang bisa menghormatinya dengan semestinya. Dan kewajiban seorang muslim adalah merasakan nikmat ini, memanfaatkan kesempatan emas ini dengan memberikan perhatian yang lebih, dan menundukkan dirinya untuk menjalankan ketaatan. Sesungguhnya di antara karunia Allah Ta’ala atas hamba-Nya adalah menyediakan banyak jalan berbuat baik dan meragamkan berbagai bentuk ketaatan agar semangat seorang muslim kontinyu dan tetap istiqamah menjalankan ibadah kepada Tuhannya.
Sesungguhnya siapa yang mendapatkan sepuluh hari bulan Dzulhijjah merupakan bagian dari nikmat Allah yang besar atas hamba.
Hanya orang-orang shalih yang bersegera kepada kebaikan lah yang bisa menghormatinya dengan semestinya.
Syaikh Munajjid rahimahullaah menjelaskan, ada beberapa amal istimewa yang harus selayaknya dikerjakan oleh seorang muslim pada sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, di antaranya:
1. Berpuasa. Seorang muslim disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallamsangat menganjurkan untuk beramal shalih pada sepuluh hari ini, dan puasa salah satu dari amal-amal shalih tersebut. Terlebih lagi, Allah Ta’ala telah memilih puasa untuk diri-Nya sebagaimana terdapat dalam hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Semua amal anak Adam untuk dirinya kecuali puasa, sungguh puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. al-Bukhari no. 1805)
Dan sungguh Nabi shallallaahu 'alaihi wasallammelaksanakan puasa 9 Dzulhijjah. Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melaksanakan puasa 9 Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan serta senin pertama dari setiap bulan dan dua hari Kamis.” (HR. Al-Nasai dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Shahih Abi Dawud: 2/462)
2. Bertakbir. Disunnahkan membaca takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih selama sepuluh hari tersebut. Dan disunnahkan mengeraskannya di masjid-masjid, rumah-rumah, dan di jalan-jalan. Dan setiap tempat yang dibolehkan untuk dzikrullah disunnahkan untuk menampakkan ibadah dan memperlihatkan pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Kaum laki-laki mengeraskannya sementara kaum wanita melirihkannya.
Allah Ta’ala berfirman,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 28) Menurut Juhmur ulama, makna al-ayyam al-ma’lumat adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana yang diriwatkan dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma, “Al-Ayyam al-Ma’lumat: Hari sepuluh."
Salah satu bentuk kalimat takbirnya adalah:
 الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر ولله الحمد
Dan masih ada lagi bentuk takbir yang lain.
3. Melaksanakan haji dan umrah. Sesungguhnya di antara amalan yang paling utama untuk dikerjakan pada sepuluh hari ini adalah berhaji ke Baitullah al-Haram. Maka siapa yang diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan haji ke Baitullah dan melaksanakan manasiknya sesuai dengan ketentuan syariat, maka dia mendapatkan janji –Insya Allah-  dari sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, Haji yang mabrur ridak ada balasannya kecuali surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
4. Melaksanakan amal-amal shalih secara umum.Sesungguhnya amal shalih dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan ini pasti akan memperbesar pahala di sisi Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang tidak memungkinkan melaksanakan haji, maka hendaknya dia menghidupkan waktu-waktu yang mulia ini dengan ketaatan-ketaatan kepada Allah Ta’ala berupa shalat, membaca Al-Qur’an, dzikir, doa, shadaqah, berbakti kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan, memerintahkan yang baik dan melarang yang munkar, dan berbagai amal baik dan ketaatan.
5. Berkurban. Di antara amal shalih pada hari yang kesepuluhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban yang gemuk dan bagus, dan berinfak di jalan Allah Ta’ala.

6. Taubat Nasuha. Di antara yang sangat ditekankan pada sepuluh hari ini adalah bertaubat dengan benar-benar (taubatan nasuha), meninggalkan perbuatan maksiat dan melepaskan diri dari seluruh dosa.
Taubat adalah kembali kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang dibenci-Nya yang nampak maupun yang tersembunyi sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan buruk yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan beristiqamah di atas kebenaran dengan melaksanakan apa-apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala.
Semoga kita tergolong sebagai hamba-hamba Allah yang bisa kontinyu dan istiqamah dalam beribadah kepadaNya. Memanfaatkan setiap kesempatan yang telah disediakan untuk memanen pahala. Sehingga kita datang kepada Allah dengan membawa bekal yang cukup dan memiliki modal yang memadai untuk memasuki surga-Nya yang Mahaindah dan menyenangkan. : rgb(Z��h/5 

Bisa dilihat dalam kitab Durrotunnasihin.

Minggu, 16 September 2012

MACAM-MACAM PUASA

Macam-macam Puasa Ditinjau dari hukumnya, puasa bisa diklasifikasikan menjadi empat macam. Yaitu ada puasa yang wajib, puasa sunnah, puasa makruh dan puasa haram. Puasa Wajib Puasa wajib (fardhu) terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Puasa Fardhu 'ain; yakni puasa yang diwajibkan oleh Allah pada waktu tertentu, yakni puasa Ramadhan 2. Puasa fardhu karena sebab tertentu yang menjadi hak Allah SWT. yaitu puasa kafarat (denda). Misalnya kafarat sumpah, kafarat zhihar, dan sebagainya. 3. Puasa fardhu yang tersebab dirinya sendiri, yaitu puasa nazar. Puasa Sunnah Yaitu puasa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW selain puasa Ramadhan. Misalnya, puasa enam hari Syawal, puasa Arafah, puasa Tasu'a dan Asyura, puasa ayyamul bidh, puasa Senin Kamis, puasa Daud, dan sebagainya. Puasa Haram Yaitu puasa yang dilarang, yang jika dilakukan justru mendapatkan dosa. Misalnya, puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dan puasa pada hari tasyrik. Termasuk dalam kategori ini adalah puasa-puasa bid'ah, karena ibadah itu berdasarkan tasyri' (penetapan syariat dari Allah). Sedangkan jika ibadah dibuat-buat sendiri, termasuk puasa, maka ia tergolong bid'ah. Misalnya, puasa Maulid (12 Rabiul Awal), puasa Isra' Mi'raj (27 Rajab), dan puasa nisyfu Sya'ban. Namun jika puasa bertepatan dengan 12 Rabiul Awal, 27 Rajab dan Nisyfu Sya'ban itu adalah puasa sunnah yang biasa dikerjakan (misal puasa Daud atau Senin Kamis) dan tidak berniat puasa bid'ah tersebut (Maulid, Isra' Mi'raj dan Nisyfu Sya'ban) maka tidak mengapa (tetap terhitung sebagai puasa sunnah). Ada lagi puasa yang haram karena merampas hak orang lain. Contohnya puasa sunnah istri yang merampas hak suami, atau puasa sunnahnya guru yang menyebabkan ia mengabaikan kewajibannya mengajar pada murid/santri. Puasa Makruh Misalnya adalah puasa dahr, yaitu puasa terus menerus setiap hari. Contoh lain puasa yang makruh adalah mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa, mengkhususkan hari Jum'at untuk berpuasa, serta mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa. Demikian Macam-macam Puasa yang diringkas dari buku Fiqih Puasa (فقه الصيام) karya Syaikh Dr Yusuf Qardhawi

Senin, 09 Juli 2012

Adzan

http:// http://al-ahillah.blogspot.com/ /search/Islamic Media/Adzan

Pengertian Adzan Adzan secara bahasa bermakna al i’lam yang berarti pengumuman atau pemberitahuan. Adapun secara syar’i adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan ,lafazh-lafazh yang khusus. (Al Mughni, 2: 53, Kitabush Shalat, Bab Adzan. Dinukil dari Taisirul Allam , 78). Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, “Para ulama’ menyebutkan 4 hikmah adzan : (1) menampakkan syi’ar Islam, (2) menegakkan kalimat tauhid, (3) pemberitahuan masuknya waktu shalat, (4) seruan untuk melakukan shalat berjama’ah.” (Taudhihul Ahkam, 1: 513) download Adzan Baru di sini www.4shared.com/video/jKH-bH-4/Adzan_Encep.html?

Sabtu, 05 Mei 2012

Nyari Lintang Manual

Setelah kita mengtahui arah utara – selatan hakiki, untuk mencari lintang tempat akan lebih mudah. Sebagai contoh: pada tanggal 1 januari, kita tunggu bencet, ketika bayangannya menunjukkan arah utara – selatan ( persis pada garis utara ) karena tanggal 1 januari deklinasi matahari berada di selatan sekitar - 23º 6’, sehingga bayangan ketika kulminasi berada di utara. Buat tanda pada ujung bayangan, kemudian ukur berapa cm panjang bayangan tersebut, lalu masukkan ke rumus : lintang tempat : d – shift tan ( X / Y ) EXE shift º ‘ “ Keterangan: d = deklinasi X = panjang bayang – bayang tongkat Y = tinggi tongkat Bila bayangan di utara bernilai ( – ) Bila bayangan di selatan bernilai ( + ) Contoh: mencari lintang tempat kota Blitar. Diketahui: d = - 23º 6’ X = - 26.8 cm Y = 100 cm -23º 6’ – shift tan (- 26.8 / 100 ) EXE shift º ‘ “ - 8º 5’ 50.22” Jadi lintang tempat kota Blitar = - 8º 5’ 50.22”. di bulatkan = - 8º 6’ II. MENGETAHUI BUJUR TEMPAT ( V ) Cara mengetahui bujur tempat lewat tonggkat istiwa’ juga menanti saat matahari berkulminasi, waktu bayangan matahari persis pada garis utara atau selatan kita melihat jam tangan yang sudah di cocokkan terlebih dahulu. Jam berapa waktu kulminasi saat itu? Kemudian di masukkan ke dalam rumus bujur tempat = (12 – e – waktu kulminasi ) x 15 + 105 EXE shift º ‘ “ Contoh : mengetahui bujur tempat kota Blitar pada tanggal 1 januari. Diketahui : perata waktu ( e ) = -0º 3’ 16” Kulminasi ( Z ) = 11º 34’ 40 V = (12 – -0º 3’ 16” – 11º 34’ 40” ) x 15 + 105 EXE shift º ‘ “ 112º 9’ III. MENCOCOKKAN JAM ISTIWA’ Mencocokkan jam istiwak dengan bencet, sebaiknya dilakukan setiap hari atau maksimal 3 hari sekali. Yaitu ketika matahari berkulminasi atau saat bayangan matahari membentuk arah utara – selatan, saat itu jam = 12 istiwa’. Sebenarnya mencocokkan jam istiwak ini, lebih mudah dengan menggunakan daftar perata waktu dan bujur tempat. Contoh: Mencocokkan jam istiwak di kota Blitar tanggal 1 januari jam WIB menunjukkan pukul 10.00 WIB. Jam berapakah istiwa’nya? Diketahui: e = -0º 3’ 16” V = 112º 9’ Rumus = WIB + e – ( 105 – V ) / 15 EXE shift º ‘ “ Istiwa’ = 10 – ( 105 – 112º 9’ ) / 15 EXE shift º ‘ “ 10º 25’20” istiwa’ Perlu di garis bawahi, bahwa selisih antara WIB dengan istiwa’ itu tidak tentu, atau tidak selalu 30 menit seperti yang di fahami oleh banyak orang. Untuk daerah Blitar selisihnya berkisar antara 15 menit sampai 45 menit. Tegantung kepada besar kecilnya perata waktu dan koreksi waktu daerah.

Senin, 23 April 2012

Arti Kehilangan

Kehilangan merupakan bagian dari fitrah manusia yang bisa membuat perubahan dalam kehidupan kita. Arti kehilangan bisa berupa kesedihan dan penderitaan atau tempaan atas kualitas ketabahan dan kesiapan diri. Rasa kehilangan merupakan bagian dari rasa memiliki karena adanya keterikatan atas sesuatu atau seseorang. Kehilangan menunjukkan rasa yang tidak sepenuhnya utuh, merasa kurang tanpa hadirnya sesuatu atau seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering bersentuhan dengan rasa kehilangan. Kehilangan akan benda, jiwa, perasaan, harga diri dan suasana, kehilangan sosok seseorang, kehilangan kesempatan atau peluang bahkan takut kehilangan. Kehilangan pernah dialami siapa saja, terlepas dari perbedaan hal yang hilang, reaksi atas kehilangan, cara menyikapi, mengatasi dan mengartikan kehilangan, serta dampak yang ditimbulkannya. Kehilangan sebuah benda yang berharga bisa berarti petaka bagi sebagian orang, dan kehilangan sosok seseorang bisa berarti derita bagi kita. Di atas semua itu, kehilangan sesuatu atau seseorang bisa menyebabkan kehilangan harapan dan kesadaran akan conscience (suara hati), sehingga arti kehilangan bisa mengubah persepsi seseorang atas kehidupan. Tidak sedikit orang yang membentuk arti dan persepsi kehilangan sebagai penderitaan dan larut di dalamnya, menjadi kehilangan kepercayaan dan kebermaknaan hidup. Mengapa kita merasa kehilangan? Kehilangan tumbuh dalam benak dan perasaan kita karena adanya arti berikut ini, yang seringkali kita sadari setelah kehilangan itu terjadi. Pertama, kita merasa kehilangan karena sesuatu atau seseorang yang hilang itu sangat berharga dan berarti untuk kita. Kita seringkali merasa terlambat menyadari atau bahkan baru menyadari betapa berharganya sesuatu dan betapa berartinya seseorang untuk kita setelah semua itu hilang, sehingga kita merasa kehilangan dan merasakan arti kehilangan sebagai adanya kekurangan, kekosongan, atau kehampaan tanpa kehadiran yang hilang tersebut. Kedua, kita merasa kehilangan karena kita menyadari bahwa kita membutuhkan yang hilang itu. Intensitas kebersamaan dan kedekatan membuat kita terbiasa dan merasa biasa. Namun, ketika yang terbiasa dan biasa itu tak ada, kita merasa ada yang kurang dan hilang dari kebiasaan dan keterbiasaan itu. Ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan kehadirannya, keberadaannya, perannya, fungsinya dan kebermanfaatannya untuk kita, sehingga rasa membutuhkan itu bisa berkembang menjadi mengharapkan yang hilang. Ketiga, kita merasa kehilangan karena kita merasa mencintai dan menyayangi yang hilang itu. Bagaimanapun berharganya sesuatu bagi orang lain, dan bagaimanapun berartinya seseorang bagi orang lain, tak akan membuat kita merasa kehilangan ketika kita tak mencintainya dan menyayanginya atau paling tidak ada empati yang bisa membuat kita merasa kehilangan. Kehilangan sahabat, teman, keluarga atau orang terkasih merupakan bentuk kehilangan karena cinta kita kepada mereka. Kedalaman rasa bisa mengukuhkan arti kehilangan dalam diri dan hati kita, sehingga kehilangan itu bisa berdampak tidak biasa dan luar biasa bagi hidup dan hati seseorang. Biasanya reaksi awal karena kehilangan ditunjukkan dengan bersedih, menangis, kesal, marah atau menyalahkan diri karena merasa menyia-nyiakan yang hilang tersebut. Reaksi ini bisa berlanjut hingga membuat kita larut, terbenam dan karam dalam rasa kehilangan itu. Bila ini reaksi kita, maka boleh jadi kita kan kehilangan kebermaknaan dan kepercayaan akan diri, hidup dan Pemilik Kehidupan. Ada pula orang yang mampu mengatasinya dengan menunjukkan reaksi yang wajar karena ia meyakini kekuatan Tuhan. Arti kehilangan bagi orang-orang seperti ini adalah ujian sekaligus perubahan dalam kehidupan, bukan kesedihan semata. Orang-orang seperti inilah yang dikategorikan sebagai pembelajar kehidupan, memiliki kemampuan untuk melihat dan memahami hikmah di balik masalah, melihat sisi kemudahan dalam kesulitan dan menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk melangkah lebih maju. Tulisan ini merupakan sebuah renungan pribadi. Kehilangan yang berarti memang berat. Butuh waktu, kemauan dan kesiapan hati untuk bisa menghadapi dan mengatasinya. Kita memang harus siap kehilangan karena kita hanya menjalankan peran kehidupan, tidak memiliki apapun bahkan diri kita sendiri.

Rabu, 07 Maret 2012

Hukum Berjabat Tangan dengan Laki-laki yang ghoir Muhrim

Islam sangat menghargai kesucian, bahkan di dalam kitab-kitab fiqh dan termasuk kitab Bulugul Marom, pembahasan yang pertama kali adalah tentang thaharoh/ kesucian. Ini menandakan bahwa sangat penting sekali kesucian diri, baik dari kotoran/hadas kecil ataupun kesucian jiwa dan pribadi. Salaman dalam bahasa arab berasal dari kata tashofaha (تصافح) yang berarti saling berjabat tangan. Dengan demikian salaman adalah berjabatan tangan antara seseorang dengan orang lain, baik perempuan maupun laki-laki. Secara fitrah, salaman merupakan ritual yang menggambarkan peleburan dosa antara seseorang dengan orang lain, karena terkadang salaman merupakan bentuk formal dari permohonan maaf. Salaman juga menggambarkan bentuk hubungan yang erat antara seorang teman dengan teman sejawatnya. Selain itu juga, salaman bisa menggambarkan bentuk simpati seseorang kepada orang lain, dengan harapan mendapatkan berkah karena doa yang diucapkan ketika seseorang bersalaman. Bentuk salaman yang terakhir ini bisaanya dilakukan oleh siswa/santri dengan gurunya dengan harapan mendapatkan berkah dan doanya seorang guru atau kyai. Salaman merupakan hal yang sangat indah dan bagus sekali, karena bisa memupuk tali persaudaraan antara seseorang dengan orang lain, bisa menambah kekerabatan dan menggambarkan kepeduliannya terhadap sesama. Dari semua ini, yang menjadi polemik adalah cara bersalaman dengan ghoir muhrim atau bukan muhrim, antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahromnya, antara seorang siswi/santri dengan teman laki-laki dan guru laki-lakinya, apakah boleh berjabat tangan langsung ataukah cukup dengan simbolis saja? Oleh karena itu, tulisan ini akan menjawab permasalahan tentang berjabat tangan seorang akhwat dengan ghoir muhrimnya. Kajian dalil Berjabat tangan sudah pasti bersentuhan dua tangan tanpa ada penghalang. Apabila berjabat tangan dengan bukan muhrim, maka Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Kabir XX/211 dengan isnad hasan, yang sanadnya dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda. Artinya: Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak dibolehkan/ghoir muhrim baginya. Hadis ini menerangkan bahwa bersentuhan seorang laki-laki dengan wanita yang ghoir muhrim merupakan dosa. Hal ini apabila disengaja, dan apabila tidak maka tidak ada dosa baginya. Adapun bersalaman secara berjabat tangan tanpa adanya penghalang antara keduanya, sudah pasti akan bersentuhan kedua kulit itu, maka hukumnya haram. Ini ditunjukan dari dosa yang harus ditanggung olehnya ketika bersentuhan secara langsung, yaitu lebih berat dan pedih daripada jarum besi yang ditusukan ke kepala seseorang. Di sini berlaku qiyas aulawi, yang berarti tusukan jarum besi di kepala belum seberapa sakitnya apabila dibandingkan dengan dosanya bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Yang dimaksud dengan bersentuhan di sini adalah bersentuhan secara langsung tanpa ada penghalang atau semacamnya, sehingga kedua kulit itu menempel. Ini hukuman bagi bukan muhrim, apabila masih ada hubungan kerabat yang disebut dengan mahrom/muhrim, maka tidak apa-apa walaupun berjabat tangan langsung. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, yang dimaksud dengan Mahrom adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. Kaitannya dengan mahrom, Allah swt. Telah berfirman dalam Al-Furqon, Surat An-Nur ayat 31: Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (bisaa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An-Nur : 31) Pada ayat di atas, yang termasuk kepada muhrim seorang wanita adalah Suami, Ayah kandung, Mertua, Anak Kandung, Anak dari suami, Saudara laki-laki, Anak saudara laki-laki, Anak saudara perempuan, dan Wanita-wanita islam. Adapun hamba sahaya, Pelayan laki-laki yang tidak memiliki syahwat, dan anak-anak yang belum mengerti aurat wanita, merupakan orang yang diberikan keringan apabila seorang perempaun memperlihatkan perhiasannya kepada mereka. Adapun yang lebih utama adalah tidak diperlihatkan walaupun kepada anak-anak yang masih kecil. Di dalam kitab Aisar at-Tafasir halaman 353, karya Imam Abu Bakar al-Jazairi menyebutkan bahwa ayat ini Menjelaskan mahrom bagi wanita, yang diperbolehkan memperlihatkan perhiasan kepada mereka tanpa dosa. Dengan adanya mahrom ini, seorang perempuan boleh memperlihatkan perhiasannya dan boleh berjabat tangan. Dan apabila dengan bukan mahrom, cukup bersalaman tanpa berjabat tangan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwasanya seorang wanita tidak boleh berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, begitu juga dengan laki-laki, salaman cukup jarak jauh saja tanpa harus berjabat tangan, karena sentuhan bisa merupakan langkah pendahuluan dari perzinaan dan termasuk kepada zina tangan. Hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau bersabda dalam kitab Tankih al-Qoul, pada bab Tasydid ’ala al-Zina: Artinya: Zinahnya kaki adalah langkah, Zinahnya tangan adalah memegang, dan Zinahnya mata adalah melihat. Maksud dari hadis ini, bahwasanya zina kakli adalah melangkah yang bertujuan untuk hal-hal yang dilarang, misalkan kaki melangkah untuk tujuan mencuri, menendang tanpa sebab, dan lain sebagainya yang termasuk kepada perbuatan yang tidak dibernarkan oleh hukum. Begitu juga dengan kedua tangan dan mata. Apabila tangan digunakan untuk memegang/menyentuh yang dilarang, misalnya berjabat tangan dengan lain mahromnya, maka termasuk zinahnya tangan dan berdosa. Mata seseorang apabila digunakan untuk melihat yang bukan haknya dan tidak pantas untuk dilihat, maka penglihatannya itu termasuk kepada zinahnya tangan. Perlu digaris bawahi, bahwa yang dimaksud zina di sini tidak sama dengan zina yang sebenarnya, tetapi menggambarkan betapa dosanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mata, kaki, dan tangan apabila diguanakan pada hal-hal yang tidak wajar dan dilarang oleh hukum islam. Dari apa yang dipaparkan di atas, dapat ditarik simpulannya bahwa bersentuhan antara seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya tidak boleh/haram dan termasuk dosa. Salah satu contoh yang sudah menjadi ritual adalah bersalaman dengan berjabat tangan. Bersalaman sangat baik dan merupakan sifat terpuji, tetapi hal itu bisa menjadi dosa apabila tidak tahu aturannya. Jadi salaman yang lebih baik antara laki-laki dan perempaun yang bukan muhrim, dan sesuai dengan syari’at islam adalah tanpa berjabat tangan. wallahu a'lam bi showab.

Hukum Berjabat Tangan dengan Ghoir Muhrim

Islam sangat menghargai kesucian, bahkan di dalam kitab-kitab fiqh dan termasuk kitab Bulugul Marom, pembahasan yang pertama kali adalah tentang thaharoh/ kesucian. Ini menandakan bahwa sangat penting sekali kesucian diri, baik dari kotoran/hadas kecil ataupun kesucian jiwa dan pribadi. Salaman dalam bahasa arab berasal dari kata tashofaha (تصافح) yang berarti saling berjabat tangan. Dengan demikian salaman adalah berjabatan tangan antara seseorang dengan orang lain, baik perempuan maupun laki-laki. Secara fitrah, salaman merupakan ritual yang menggambarkan peleburan dosa antara seseorang dengan orang lain, karena terkadang salaman merupakan bentuk formal dari permohonan maaf. Salaman juga menggambarkan bentuk hubungan yang erat antara seorang teman dengan teman sejawatnya. Selain itu juga, salaman bisa menggambarkan bentuk simpati seseorang kepada orang lain, dengan harapan mendapatkan berkah karena doa yang diucapkan ketika seseorang bersalaman. Bentuk salaman yang terakhir ini bisaanya dilakukan oleh siswa/santri dengan gurunya dengan harapan mendapatkan berkah dan doanya seorang guru atau kyai. Salaman merupakan hal yang sangat indah dan bagus sekali, karena bisa memupuk tali persaudaraan antara seseorang dengan orang lain, bisa menambah kekerabatan dan menggambarkan kepeduliannya terhadap sesama. Dari semua ini, yang menjadi polemik adalah cara bersalaman dengan ghoir muhrim atau bukan muhrim, antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahromnya, antara seorang siswi/santri dengan teman laki-laki dan guru laki-lakinya, apakah boleh berjabat tangan langsung ataukah cukup dengan simbolis saja? Oleh karena itu, tulisan ini akan menjawab permasalahan tentang berjabat tangan seorang akhwat dengan ghoir muhrimnya. Kajian dalil Berjabat tangan sudah pasti bersentuhan dua tangan tanpa ada penghalang. Apabila berjabat tangan dengan bukan muhrim, maka Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Kabir XX/211 dengan isnad hasan, yang sanadnya dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda. Artinya: Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak dibolehkan/ghoir muhrim baginya. Hadis ini menerangkan bahwa bersentuhan seorang laki-laki dengan wanita yang ghoir muhrim merupakan dosa. Hal ini apabila disengaja, dan apabila tidak maka tidak ada dosa baginya. Adapun bersalaman secara berjabat tangan tanpa adanya penghalang antara keduanya, sudah pasti akan bersentuhan kedua kulit itu, maka hukumnya haram. Ini ditunjukan dari dosa yang harus ditanggung olehnya ketika bersentuhan secara langsung, yaitu lebih berat dan pedih daripada jarum besi yang ditusukan ke kepala seseorang. Di sini berlaku qiyas aulawi, yang berarti tusukan jarum besi di kepala belum seberapa sakitnya apabila dibandingkan dengan dosanya bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Yang dimaksud dengan bersentuhan di sini adalah bersentuhan secara langsung tanpa ada penghalang atau semacamnya, sehingga kedua kulit itu menempel. Ini hukuman bagi bukan muhrim, apabila masih ada hubungan kerabat yang disebut dengan mahrom/muhrim, maka tidak apa-apa walaupun berjabat tangan langsung. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, yang dimaksud dengan Mahrom adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. Kaitannya dengan mahrom, Allah swt. Telah berfirman dalam Al-Furqon, Surat An-Nur ayat 31: Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (bisaa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An-Nur : 31) Pada ayat di atas, yang termasuk kepada muhrim seorang wanita adalah Suami, Ayah kandung, Mertua, Anak Kandung, Anak dari suami, Saudara laki-laki, Anak saudara laki-laki, Anak saudara perempuan, dan Wanita-wanita islam. Adapun hamba sahaya, Pelayan laki-laki yang tidak memiliki syahwat, dan anak-anak yang belum mengerti aurat wanita, merupakan orang yang diberikan keringan apabila seorang perempaun memperlihatkan perhiasannya kepada mereka. Adapun yang lebih utama adalah tidak diperlihatkan walaupun kepada anak-anak yang masih kecil. Di dalam kitab Aisar at-Tafasir halaman 353, karya Imam Abu Bakar al-Jazairi menyebutkan bahwa ayat ini Menjelaskan mahrom bagi wanita, yang diperbolehkan memperlihatkan perhiasan kepada mereka tanpa dosa. Dengan adanya mahrom ini, seorang perempuan boleh memperlihatkan perhiasannya dan boleh berjabat tangan. Dan apabila dengan bukan mahrom, cukup bersalaman tanpa berjabat tangan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwasanya seorang wanita tidak boleh berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, begitu juga dengan laki-laki, salaman cukup jarak jauh saja tanpa harus berjabat tangan, karena sentuhan bisa merupakan langkah pendahuluan dari perzinaan dan termasuk kepada zina tangan. Hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau bersabda dalam kitab Tankih al-Qoul, pada bab Tasydid ’ala al-Zina: Artinya: Zinahnya kaki adalah langkah, Zinahnya tangan adalah memegang, dan Zinahnya mata adalah melihat. Maksud dari hadis ini, bahwasanya zina kakli adalah melangkah yang bertujuan untuk hal-hal yang dilarang, misalkan kaki melangkah untuk tujuan mencuri, menendang tanpa sebab, dan lain sebagainya yang termasuk kepada perbuatan yang tidak dibernarkan oleh hukum. Begitu juga dengan kedua tangan dan mata. Apabila tangan digunakan untuk memegang/menyentuh yang dilarang, misalnya berjabat tangan dengan lain mahromnya, maka termasuk zinahnya tangan dan berdosa. Mata seseorang apabila digunakan untuk melihat yang bukan haknya dan tidak pantas untuk dilihat, maka penglihatannya itu termasuk kepada zinahnya tangan. Perlu digaris bawahi, bahwa yang dimaksud zina di sini tidak sama dengan zina yang sebenarnya, tetapi menggambarkan betapa dosanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mata, kaki, dan tangan apabila diguanakan pada hal-hal yang tidak wajar dan dilarang oleh hukum islam. Dari apa yang dipaparkan di atas, dapat ditarik simpulannya bahwa bersentuhan antara seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya tidak boleh/haram dan termasuk dosa. Salah satu contoh yang sudah menjadi ritual adalah bersalaman dengan berjabat tangan. Bersalaman sangat baik dan merupakan sifat terpuji, tetapi hal itu bisa menjadi dosa apabila tidak tahu aturannya. Jadi salaman yang lebih baik antara laki-laki dan perempaun yang bukan muhrim, dan sesuai dengan syari’at islam adalah tanpa berjabat tangan. wallahu a'lam bisshawab.