Dalam KUHP Indonesia, Asas
Legalitas terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berarti bahwa “Tidak dapat
dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan
perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu”. Asas itu tidak semata-mata
lahir tanpa ada sejarah panjang yang melatar belakanginya.
Menurut catatan sejarah, asas
ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori: “vom psychologishen
zwang” yang berarti paksaan psikologi, diengan adagium: nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar. Prinsip
dasar tersebut adalah:
1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa
undang-undang pidana yang terlebih dulu ada)
Ketiga prinsip dasar ini memiliki fungsi,
yaitu:
Ø Dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya
pidana yang diancamkan;
Ø Dengan cara demikian, maka
orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang itu telah mengetahui terlebih
dahulu pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul
melakukan perbuatan;
Ø Dengan demikian dalam batin
orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata
melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dipandang dia menyetujui pidana
yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan
inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
a) Tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP.
b) Untuk menentukan adanya
perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan
penggunaan penafsiran ekstensif.
c) Aturan-aturan hukum pidana
tidak berlaku surut.
Nullum Delictum Nula Poena Sine
Praevia Lege Poenali, Menurut Wikipedia kalimat itu disanjungkan pertama oleh
Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Orang ini yang menuliskannya dalam The
Bavarian Criminal Code di 1813.
Paul menelorkan pikiran
demikian juga. Paul tak setuju degan teori kekutan sipil-nya Thomas Hobbes.
Dalam kuliahnya soal jurisprudence criminal, dia mengemukakan teorinya yang
terkenal. Paul mengumandangkan nullum crimen, nulla poena sine pravia lege
poenali. Gara-gara omongannya itu, partai Paul, Rigorits, pun bangkit seketika.
Suaranya merangkak tanpa lewat survei dan segala tetek bengeknya. Partai itu
bermodalnya teori pembaruan yang dilantunkan Paul itu. Sang profesor di Jena
dan Kiel, Jerman, di 1804 lalu.
Buah pikiran Paul ini pun
diadopsi dunia. Nullum crimen masuk sebagai hukum dasar alam criminal
internasional. Makanya ex post facto laws pun dilarang dilakukan. Inilah yang
menimbulkan pertentangan dikalangan pengacara-pengacara dunia.
Namun, muasal teori ini
ternyata ada yang mendongengkannya beda pula. Emeritus John Gilsen bilang
berbeda. Katanya, kalimat itu aslinya ialah nullum crimen, nulla poena sine
pravia lege poenali. Penciptanya Cesare Beccaria (1738-1794). Pria ini orang
Italia. Orang ini, disebutkan sangat luar biasa. Di usia muda, 25 tahun, dia
mampu menyusun buku pidana lengkap. Judulnya Dei delitti pene (tentang beragam
kejahatan dan hukuman). Buku itu, kemudian diterbitkan lagi oleh Voltaire yang
menggubahnya dalam berbagai bahasa Eropa.
Beccaria terpengaruh Contrat
Social-nya JJ Rousseau. Dalam otaknya, setiap orang wajib menyerahkan sebagian
kemerdekaannya kepada raja. Tapi bagi sang penguasa, tidak oleh berbuat
seenaknya tanpa ada aturan yang disusun oleh undang-undang.
Ternyata, ide Beccaria ini
banyak diterima akal orang Barat sana. Perancis yang pertama mengadopsi. Dalam
Declaration des Droits de I’Homme (UUD Perancis) tahun 1789, 1795 dan 1810,
buah pikiran Beccaria itu disahkan sebagai aturan.
Cuma Beccaria ternyata tak
orisinil juga. Manusia sebelum dia, sempat berpikiran sama. Paus dari abad III
A.D. (Anno Domini –tarikh sebelum Masehi--). Dia sempat mengumandangkannya
pula. Ada tulisannya yang berbunyi begini : non ex regulis ius sumatur, sed ex
iure quod est regula fiat (kita menjabarkan hukum tidak dari aturan-aturan
hukum, tapi hukum dari apa yang merupakan aturan).
Sialnya, bila dirunut lagi,
Paus juga tak berdiri sendiri. Dia terpengaruh oleh Romawi. Dan Romawi pun
berkiblat pada Yunani kuno. Barat banyak menjiplak Yunani kuno menjadi bahan
untuk menuntun kehidupan. Mereka mengadopsi aturan Yunani untuk menjalankan
kenegaraan. Tak heran, Barat pun sempat mengalami kesesatan.
Siapapun pencetus kalimat itu,
tetap saja Barat yang menjadi sumbernya. Ironisnya, mereka sendiri tak sejati
menerapkannya. Di Jerman, azas itu sempat dikesampingkan. Tatkala Barat ingin
mengadili penjahat perang Nazi, prinsip itu dibuang. Seluruh kawanan anak buah
Hitler diadili. Mereka dituduh melakukan perbuatan kriminal. Padahal, tragedi
Nazi terjadi jauh sebelum prinsip ini lahir. Jauh sebelum undang-undang Jerman
melarangnya. Bahkan, di era Hitler sendiri, tindakan Nazi justru disahkan oleh
peraturan. Mereka bukan dianggap melakukan pelanggaran. Tapi, karena Barat yang
berkehendak, maka azas itu pun dipinggirkan. Penjahat Nazi diadili. Mereka
dihukum mati.
Jerman ternyata tetap dalam
kesialan. Setelah era Nazi, kasus Tembok Berlin juga serupa. Begitu tembok
pemisah itu rubuh, pelaku-nya diadili. Hukuman diterapkan walau dibuat
belakangan. Jerman sial duakali. Mereka kalah karena kehendak Inggris dan
antek-anteknya. Kejadian itu berlaku sejak
Nuremberg Trials. Saat itu, seluruh Eropa sepakat mengenyampingkan soal nullum
crimen (nullum dilectum) demi bisa menghukum Hitler berikut para pengikutnya.
Era kini, sempat terjadi lagi.
Saddam Hussein jadi korban berikutnya. Setelah Slobodan Molisevic, dia diadili
oleh Barat juga. Saddam dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan. Dia dituntut
melakukan kriminal berat. Saddam pun mati ditiang gantungan. Padahal, tindakan
Saddam dilandasi oleh aturan. Tindakan Saddam, tak menyalahi kriminal di
negaranya. Tapi, dianggap melanggar kriminal di Eropa. Barat tak mau mengikuti
nullum crimen. Barat tak mengakui nullum dilectum tadi.
Kita, justru ironis sekali. Azas
itu seolah harga mati. Dalam pidana kita, dia diletakkan pertama tanpa boleh
diusik sama sekali. Padahal, nullum dilectum hanyalah mulut manis Barat semata.
Di negeri sana, nullum dilectum diperkosa dengan sesuka hatinya. Bila Barat
ingin, maka dia disanjung paling tinggi. Tapi bila mereka ingin menggantung
sang teroris, azas itu dianggap tak pernah lahir.
Tentu sial juga buat bangsa
ini. Selalu mengekor Barat yang sesat. Tak heran, hukum di negeri ini jauh dari
supremasi yang diharapkan.